BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit endokrin (hipertiroiditisme dan hipotiroidisme) merupakan penyakit yang menyerang pada kelenjar tiroid yang mana penyakit ini akan membuat si penderita merasa terganggu untuk melakukan aktifitas karena penyakit tersebut. Hipertiroidisme adalah suatu kondisi dimana terjadi kelebihan sekresi hormone tiroid dan Hipotiroidisme merupakan penurunan sekresi hormone kelenjar tiroid sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebutuhan jaringan tubuh akan hormon-hormon tiroid.
1.2.Tujuan Pembuatan Makalah
Agar mahasiswa sebagai calon perawat dapat mengetahui dan memahami konsep dasar tentang penyakit endokrin (hipertiroiditisme dan hipotiroiditisme) dan juga memahami gambaran asuhan keperawatan yang harus dilakukan.
BAB II
TINJAUAN TEORI HIPOTIROIDISME
2.1 Definisi
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan hipometabolik akibat defisiensi hormon tiroid yang dapat terjadi pada setiap umur.
Hipotiroidisme adalah penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebutuhan jaringan tubuh akan horon-hormon tiroid. (Rumahorbo,Hotma.1999)
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan menghasilkan terlalu sedikit hormon tiroid terutama tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3). Kedua hormon ini penting karena mereka ada di hampir setiap sel tubuh dan membantu dalam mengatur metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema. Hipotiroidisme terjadi karena penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebutuhan jaringan tubuh akan hormon-hormon tiroid.(Akmal, Mutaroh., Zely Indahaan.,dkk. 2010
2.2 Etiologi
Etiologi dari hipotirodisme dapat digolongkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Hipotiroid primer.
Mungkin disiebabkan oleh kongenital dari tiroid (kretinism), sintesis hormon yang kurang baik, defisiensi iodin (prenatal dan posnatal). Obat anti tiroid, pembedahan atau terapi radioaktif untuk hipotiroidisme, penyakit inflamasi kronik seperti penyakit hasimoto, amilodosis, dan sarkoidosis.
2. Hipotiroid sekunder.
Hipotiroid sekunder berkembang ketika adanya stimulasi yang tidak memadai dari kelenjar tiroid normal, konsekuensinya jumlah tiroid stimulating hormone (TSH) meningkat. Ini mungkin awal dari suatu malfungsi dari pituitari atau hipotalamus. Ini dapat jjuga disebabkan oleh resistensi perifer terhadap hormon tiroid.
3. Hipotiroid tersier/ pusat
Hipotiroid tersier dapat berkembang jika hipotalamus gagal untuk memproduksi tiroid releasing hormone (TRH) dan akibatnya tidak dapat distimulasi pituitari untuk mengeluarkan TSH. Ini mungkin berhubungan dengan suatu tumor atau lesi destruktif lainnya diarea hipotalamus. Ada dua bentuk utama dari goiter sederhana yaitu endemic dan sporadic. Goiter endemik prinsipnya disebabkan oleh nutrisi, defisiensi iodin. Ini mengarah pada “goiter belt” dengan karakteristik area geografis oleh minyak dan air yang berkurang dan iodin. Sporadik goiter tidak menyempit keare geografik lainnya. Biasanya disebabkan oleh:
a. Kelainan ginetik yang dihasilkan karena metabolisme iodin yang salah.
b. Ingesti dari jumlah besar nutrisi goiterogen (agen produksi goiter yang menghambat produksi T4) seperti kubis, kacang, kedelai, buah prsik, bayam, kacang polong, stroberi dan lobak. Semuanya mengandung goitogenik glikosida.
c. Ingesti dari obat goitrogen seperti thioureas (propylthiracil) thocarbomen, (aminothiazole, tolbutamid)
2.3 Manifestasi Klinis
1. Kulit dan Rambut
a. Kulit kering, pecah-pecah, bersisik dan menebal
b. Pembengkakan, tangan mata dan wajah
c. Rambut rontok, alopesia, kering dan pertumbuhannya buruk
d. Tidak tahan dingin
e. Pertumbuhan kuku buruk, kuku menebal
2. Muskuloskeletal
a. Volume otot bertambah, glossomegali
b. Kejang otot, kaku, paramitoni
c. Atralgia dan efusi sinovial
d. Osteoporosis
e. Pertumuhan tulang terhambat pada usia muda
f. Umur tulang tertinggal dibandiing usia kronologis
g. Kadar posfatase alkali menurun
3. Neurologik
a. Letargi dan mental menjadi lambat
b. Aliran darah otak menurun
c. Kejang, koma, dimensia, psikosis (gangguan memori, perhatian kurang, penurunan refleks tendon)
d. Ataksia (cerebellum terkena)
e. Gangguan saraf (carval tunnel)
f. Tuli perspektif, rasa kecap, penciuman terganggu
4. Kardiorespiratorik
a. Bradikardi, disritmia, hipotensi
b. Curah jantung menurun, gagal jantung
c. Efusi pericardikal (sedikit, temponade sangat jarang)
d. Kardiomiopati di pembuluh, EKG menunjukan gelombang T mendatar/ inverse
e. Penyakit jantung iskemik
f. Hipotensilasi
g. Efusi pleural
h. Dispnea
5. Gastro intestinal
a. Konstipasi, anoreksia, peningkatan BB, distensi abdomen
b. Obstruksi usus oleh efusi peritoneal
c. Aklorhidria, antibody sel parietal gaster, anemia, pernisiosa
6. Renalis
a. Aliran darah ginjal berkurang, GFR menurun
b. Retensi air (volume plasma berkurang)
c. Hipokalsemia
7. Hematologi
a. Anemia normokrom normositik
b. Anemia mikrositik atau makrositik
c. Gangguan koagulasi ringan
8. Sistem endokrin
a. Pada perempuan terjadi perubahan menstruasi seperti amenore atau masa menstruasi yang memanjang, menoragi dan galaktore dengan hiperprolaktemi
b. Gangguan vertilitas
c. Gangguan hormone pertumbuhan dan respon ACTH, hipofisis terhadap insulin akibat hipoglikemi
d. Gangguan sintesis kortison, kliren kortison menurun
e. Insufisiensi kelejar adrenal autoimun
f. Psikologi atau emosi: apatis, agitasi, depresi, paranoid, menarik diri, prilaku maniak
g. Manifestasi klinis lain berupa: edema periorbita, wajah seperti bulan (moon face), wajah kasar, suara serak, pembesaran leher, lidah tebal, sensitifitas terhadap opioid, haluaran urine menurun, lemah, ekspresi wajah kosong dan lemah
Pemeriksaan labolatorium yang didapat pada pasien hipotiroidisme didapatkan hasil sebagai berikut:
1. T3 dan T4 serum rendah
2. TTSH meningkat pada hipotiroid primer
3. TSH rendah pada hipotiroid sekunder
a. Kegagalan hipofisis: respon TSH terhadap TRH mendatar
b. Penyakit hipotalamus TSH dan TRH meningkat
4. Titer auto antibody tiroid tinggi pada >80% kasus
5. Peningkatan kolestrol
6. Pembesaran jantung pada sinar X dada
7. EKG menunjukan sinus bradikardi, rendahnya voltase kompleks QRS dan gelombang T datar atau inverse
2.4 Patofiologis
2.5 Komplikasi
1. Koma miksedema
Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermi tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedema), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena.
2. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Kretinisme)
Jika hipotiroidisme yang berat sudah terjadi sewaktu hidup fetal, maka kita akan mendapatkan penderita yang cebol dan mungkin imbesil. Pada waktu lahir tidak ditemukan kelainan tetapi pada umur 2-3 bulan sudah bisa timbul gejala lidah tebal dan jarak antara ke dua mata lebih besar dari biasanya. Pada waktu ini kulit kasar dan warnanya agak kekuningan. Kepala anak besar, mukanya bulat dan raut mukanya (ekspresi) seperti orang bodoh sedangkan hidungnya besar dan pesek, bibirnya tebal, mulutnya selalu terbuka dan juga lidah yang tebal dikeluarkan. Pertumbuhan tulang juga terlambat. Sedangkan keadaan psikis berbeda-beda biasanya antara agak cerdik dan sama sekali imbesil. Kematian dapat terjadi apabila tidak diberikan HT dan stabilisasi semua gejala dengan segera.
3. Penyakit Hashimoto
Disebut tiroiditis otoimun, terjadi akibat otoantobodi yang merusak jaringan tiroid. Ini menyebabkan penurunan HT disertai peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang minimal.
4. Gondok Endemic
Hipotiroid akibat defisiensi iodium dalam makanan. Ini terjadi karena sel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik dalam usaha untuk menyerap semua iodium yang tersisa dalam darah. Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH yang tinggi karena minimnya umpan balik.
5. Karsinoma Tiroid
Karsinoma Tiroid dapat terjadi akibat terapi tiroidektomi, pemberian obat penekan TSH atau terapi iodium radioaktif untuk menghancurkan jaringan tiroid. Terapi- terapi tersebut akan merangsan proliferasi dan hiperplasia sel tiroid (Long, Barbara.C,2000:261 dan Hudak and Gallo,1996:479)
2.6 Pencegahan
2.6.1 Pencegahan Primer
- Diet
Makanan yang seimbang dianjurkan, antara lain memberi cukup yodium dalam setiap makanan. Tetapi selama ini ternyata cara kita mengelola yodium masih cenderung salah. Yodium mudah rusak pada suhu tingggi. Padahal kita selama ini memasak makanan pada suhu yang panas saat menambah garam yang mengandung yodium, sehingga yodium yang kita masak sudah tidak berfungsi lagi karena rusak oleh panas. Untuk itu, sebaiknya kita menambahkan garam pada saat makanan sudah panas dan cukup dingin sehingga tidak merusak kandungan yodium yang ada pada garam.
Selain itu, makan-makanan yang tidak mengandung pengawet juga diperlukan. Asupan kalori disesuaikan apabila BB perlu di kurangi. Apabila pasien mengalami letargi dan defisit perawatan diri, perawat perlu memantau asupan makanan dan cairan.
- Aktivitas
Kelelahan akan menyebabkan pasien tidak bisa melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan lainnya. Kegiatan dan istirahat perlu diatur agar pasien tidak menjadi sangat lelah. Kegiatan ditingkatkan secara bertahap.
Pada masa kehamilan hindari penggunaan obat-obatah antitiroid secara berlebihan, yodium profilaksis pada daerah-daerah endemik, diagnosis dini melalui pemeriksaan penyaringan pada neonatus.
Sedangkan pada hipotiroidisme dewasa dapat dilakukan dengan pemeriksaan ulang tahunan.
2.6.2 Pencegahan Sekunder
- Pengobatan
Pengobatan hipotiroidisme antara lain dengan pemberian tiroksin, biasanya dalam dosis rendah sejumlah 50 µg/hari dan setelah beberapa hari atau minggu sedikit demi sedikit ditingkatkan sampai akhirnya mencapai dosis pemeliharaan maksimal sejumlah 200 µg/hari. Pengukuran kadar tiroksin serum dan pengambilan resin T3 dan kadar TSH penderita hipotiroidisme primer dapat digunakan untuk menentukan menfaat terapi pengganti.
Pengobatan pada penderita usia lanjut dimulai dengan hormon tiroid dosis rendah, karena dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang serius. Dosisnya diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal. Obat ini biasanya terus diminum sepanjang hidup penderita.
Pengobatan selalu mencakup pemberian tiroksin sintetik sebagai pengganti hormon tiroid. Apabila penyebab hipotiroidism berkaitan dengan tumor susunan saraf pusat, maka dapat diberikan kemoterapi, radiasi, atau pembedahan.
Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedem), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena. Hipotiroidisme diobati dengan menggantikan kekurangan hormon tiroid, yaitu dengan memberikan sediaan per-oral (lewat mulut). Yang banyak disukai adalah hormone tiroid buatan T4. Bentuk yanglain adalah tiroid yang dikeringkan (diperoleh dari kelenjar tiroid hewan).
Pengobatan pada penderita usia lanjut dimulai dengan hormon tiroid dosis rendah, karena dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang serius. Dosisnya diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal. Obat ini biasanya terus diminum sepanjang hidup penderita. Pengobatan selalu mencakup pemberian tiroksin sintetik sebagai pengganti hormone tiroid. Apabila penyebab hipotiroidism berkaitan dengan tumor susunan saraf pusat, maka dapat diberikan kemoterapi, radiasi, atau pembedahan.
- Terapi sulih hormon
obat pilihannya adalah sodium levo-thyroxine. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid ada, diberikan dosis seperti tabel berikut :
Umur | Dosis g/kg BB/hari |
0-3 bulan 3-6 bulan 6-12 bulan 1-5 tahun 2-12 tahun > 12 tahun | 10-15 8-10 6-8 5-6 4-5 2-3 |
a. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu. Bila ada perbaikan klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 μg/m2/hari.
b. Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4, dan TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
- Pembedahan
Tiroidektomi dilaksanakan apabila goiternya besar dan menekan jaringan sekitar. Tekanan pada trakea dan esofagus dapat mengakibatkan inspirasi stridor dan disfagia. Tekanan pada laring dapat mengakibatkan suara serak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Dampak penurunan kadar hormon dalam tubuh sangat bervariasi, oleh karena itu lakukanlah pengkajian terhadap ha1-ha1 penting yang dapat menggali sebanyak mungkin informasi antara lain:
3.1.1 Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
Kebiasaan hidup sehari-hari seperti:
1. Pola makan
2. Pola tidur (klien menghabiskan banyak waktu untuk tidur).
3. Pola aktivitas.
3.1.2 Tempat tinggal klien sekarang dan pada waktu balita
3.1.3 Keluhan utama klien, mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh:
1. Sistem pulmonary
2. Sistem pencernaan
3. Sistem kardiovaslkuler
4. Sistem musculoskeletal
5. Sistem neurologik dan Emosi/psikologis
6. Sistem reproduksi
7. Metabolik
3.1.4 Pemeriksaart fisik mencakup
a. Penampilan secara umum; amati wajah klien terhadap adanya edema sekitar mata, wajah bulan dan ekspresi wajah kosong serta roman wajah kasar. Lidah tampak menebal dan gerak-gerik klien sangat lamban. Postur tubuh keen dan pendek. Kulit kasar, tebal dan berisik, dingin dan pucat.
b. Nadi lambat dan suhu tubuh menurun
c. Perbesaran jantung
d. Disritmia dan hipotensie.
e. Parastesia dan reflek tendon menurun
3.1.5 Pengkajian psikososial klien sangat sulit membina hubungan sasial dengan lingkungannya, mengurung diri/bahkan mania. Keluarga mengeluh klien sangat malas beraktivitas, dan ingin tidur sepanjang hari. Kajilah bagaimana konsep diri klien mencakup kelima komponen konsep diri.
3.1.6 Pemeriksaan penunjang mencakup; pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum; pemeriksaan TSH (pada klien dengan hipotiroidisme primer akan terjadi peningkatan TSH serum, sedangkan pada yang sekunder kadar TSH dapat menurun atau normal).
3.2 Diagnosa
1. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan proses kognitif.
2. Perubahan suhu tubuh
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal
4. Kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan untuk terapi penggantian tiroid seumur hidup
5. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi ventilasi
6. Perubahan pola berpikir berhubungan dengan gangguan metabolisme dan perubahan status kardiovaskuler serta pernapasan.
7. Miksedema dan koma miksedema.
3.3 Intervensi dan Rasional
1. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan proses kognitif.
Tujuan : Meningkatkan partisipasi dalam aktivitas dan kemandirian
Intervensi:
a. Atur interval waktu antar aktivitas untuk meningkatkan istirahat dan latihan yang dapat ditolerir.
Rasional : Mendorong aktivitas sambil memberikan kesempatan untuk mendapatkan istirahat yang adekuat.
b. Bantu aktivitas perawatan mandiri ketika pasien berada dalam keadaan lelah.
Rasional : Memberi kesempatan pada pasien untuk berpartisipasi dalamaktivitas perawatan mandiri.
c. Berikan stimulasi melalui percakapan dan aktifitas yang tidak menimbulkan stress.
Rasional : Meningkatkan perhatian tanpa terlalu menimbulkan stress pada pasien.
d. Pantau respons pasien terhadap peningkatan aktititas.
Rasional : Menjaga pasien agar tidak melakukan aktivitas yang berlebihan atau kurang.
2. Perubahan suhu tubuh
Tujuan : Pemeliharaan suhu tubuh yang normal
Intervensi:
a. Berikan tambahan lapisan pakaian atau tambahan selimut.
Rasional : Meminimalkan kehilangan panas
b. Hindari dan cegah penggunaan sumber panas dari luar (misalnya, bantal pemanas, selimut listrik atau penghangat).
Rasional : Mengurangi risiko vasodilatasi perifer dan kolaps vaskuler
c. Pantau suhu tubuh pasien dan melaporkan penurunannya dari nilai dasar suhu normal pasien.
Rasional : Mendeteksi penurunan suhu tubuh dan dimulainya koma miksedema.
d. Lindungi terhadap pajanan hawa. dingin dan hembusan angina
Rasional : Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien dan menurunkan lebih lanjut kehilangan panas.
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal
Tujuan : Pemulihan fungsi usus yang normal.
Intervensi:
a. Dorong peningkatan asupan cairan
Rasional : Meminimalkan kehilangan panas.
b. Berikan makanan yang kaya akan serat
Rasional : Meningkatkan massa feses dan frekuensi buang air besar
c. Ajarkan kepada klien, tentang jenis -jenis makanan yang banyak mengandung air.
Rasional : Untuk peningkatan asupan cairan kepada pasien agar . feses tidak keras
d. Pantau fungsi usus
Rasional : Memungkinkan deteksi konstipasi dan pemulihan kepada pola defekasi yang normal.
e. Dorong klien untuk meningkatkan mobilisasi dalam batas-batas toleransi latihan.
Rasional : Meningkatkan evakuasi feses
f. Kolaborasi : untuk pemberian obat pecahar dan enema bila diperlukan.
Rasional : Untuk mengencerkan feces.
4. Kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan untuk terapi penggantian tiroid seumur hidup
Tujuan : Pemahaman dan penerimaan terhadap program pengobatan yang diresepkan.
Intervensi:
a. Jelaskan dasar pemikiran untuk terapi penggantian hormon tiroid.
Rasional : Memberikan rasional penggunaan terapi penggantian hormon tiroid seperti yang diresepkan, kepada pasien.
b. Uraikan efek pengobatan yang dikehendaki pada pasien.
Rasional : Mendorong pasien untuk mengenali perbaikan status fisik dan kesehatan yang akan terjadi pada terapi hormon tiroid.
c. Bantu pasien menyusun jadwal dan cheklist untuk memastikan pelaksanaan sendiri terapi penggantian hormon tiroid.
Rasional : Memastikan bahwa obat yang; digunakan seperti yang diresepkan.
d. Uraikan tanda-tanda dan gejala pemberian obat dengan dosis yang berlebihan dan kurang.
Rasional : Berfungsi sebagai pengecekan bagi pasien untuk menentukan apakah tujuan terapi terpenuhi.
e. Jelaskan perlunya tindak lanjut jangka panjang kepada pasien dan keluarganya.
Rasional : Meningkatkan kemungkinan bahwa keadaan hipo atau hipertiroidisme akan dapat dideteksi dan diobati.
5. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi ventilasi
Tujuan : Perbaikan status respiratorius dan pemeliharaan pola napas yang normal.
Intervensi:
a. Pantau frekuensi; kedalaman, pola pernapasan; oksimetri denyut nadi dan gas darah arterial.
Rasional : Mengidentifikasi hasil pemeriksaan dasar untuk memantau perubahan selanjutnya dan mengevaluasi efektifitas intervensi.
b. Dorong pasien untuk napas dalam dan batuk.
Rasional : Mencegah aktifitas dan meningkatkan pernapasan yang adekuat.
c. Berikan obat (hipnotik dan sedatip) dengan hati-hati.
Rasional : Pasien hipotiroidisme sangat rentan terhadap gangguan pernapasan akibat gangguan obat golongan hipnotik-sedatif.
d. Pelihara saluran napas pasien dengan melakukan pengisapan dan dukungan ventilasi jika diperlukan.
Rasional : Penggunaan saluran napas artifisial dan dukungan ventilasi mungkin diperlukan jika terjadi depresi pernapasan.
6. Perubahan pola berpikir berhubungan dengan gangguan metabolisme dan perubahan status kardiovaskuler serta pernapasan.
Tujuan : Perbaikan proses berpikir.
Intervensi:
a. Orientasikan pasien terhadap waktu, tempat, tanggal dan kejadian disekitar dirinya. Berikan stimulasi lewat percakapan dan aktifitas
Rasional : Memudahkan stimulasi dalam batas-batas toleransi pasien terhadap stres.
b. Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa perubahan pada fungsi kognitif dan mental merupakan akibat dan proses penyakit.
Rasional : Meyakinkan pasien dan keluarga tentang penyebab perubahan kognitif dan bahwa hasil akhir yang positif dimungkinkan jika dilakukan terapi yang tepat.
7. Miksedema dan koma miksedema
Tujuan: Tidak ada komplikasi.
Intervensi:
a. Pantau pasien akan; adanya peningkatan keparahan tanda dan gejala hipertiroidisme.
1. Penurunan tingkat kesadaran ; demensia
2. Penurunan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi, pernapasan, suhu tubuh, denyut nadi)
3. Peningkatan kesulitan dalam membangunkan dan menyadarkan pasien.
Rasional : Hipotiroidisme berat jika tidak ditangani akan menyebabkan miksedema, koma miksedema dan pelambatan seluruh sistem tubuh
b. Dukung dengan ventilasi jika terjadi depresi dalam kegagalan pernapasan
Rasional: Dukungan ventilasi diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan pemeliharaan saluran napas.
c. Berikan obat (misalnya, hormon tiroksin) seperti yang diresepkan dengan sangat hati-hati.
Rasional : Metabolisme yang lambat dan aterosklerosis pada miksedema dapat mengakibatkan serangan angina pada saat pemberian tiroksin.
d. Balik dan ubah posisi tubuh pasien dengan interval waktu tertentu.
Rasional : Meminimalkan resiko yang berkaitan dengan imobilitas.
e. Hindari penggunaan obat-obat golongan hipnotik, sedatif dan analgetik.
Rasional : Perubahan pada metabolisme obat-obat ini sangat meningkatkan risiko jika diberikan pada keadaan miksedema.yang, tidak bersifat mengancam.
BAB IV
TINJAUAN TEORI HIPERTIROID
4.1 Definisi
Hipertiroid atau hipertiroidisme adalah suatu keadaan atau gambaran klinis akibat produksi hormon tiroid yang berlebihan oleh kelenjatr tiroid yang selalu aktif. Karena tiroid memproduksi hormon tiroksin dari iodium, maka iodium radiaktif dalam dosis kecil dapat digunakan untuk mengobatinya (mengurangi intensitas fungsinya).
4.2 Etiologi
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Peningkatan TSH akibat malfungsi kelenjar tiroid akan disertai penurunan TSH dan TRF karena umpan balik nnegatif TH terhadap pelepasan keduanya.
Hipertiroidisme akibal malfungsi hipofisis memberikan gambar kadar TH dan TSH yang tinggi. TRF akan rendah karena umpan balik negatif dari TH dan TSH. Hipertiroidisme akibat malfungsi hipotalamus akan memperlihatkan HT yang tinggi disertai TSH dan TRH yang berlebihan.
Beberapa penyakit yang menyebabkan hipertiroid yaitu :
1. Penyakit Graves
Penyakit ini disebabkan oleh kelenjar tiroid yang overaktif dan merupakan penyebab hipertiroid yang paling sering dijumpai. Penyakit ini biasanya turunan. Wanita 5kali lebih sering dari pada pria. Diduga penyebabnya adalah penyakit auto imun, dimana antibody yang ditemukan dalam peredaran darah yaitu tiroid stimulating imunnogirobulin (TSI antibodies), tiroid peroksidase antibodies (TPO) dan TSH reseptor antibodies (TRAB). Pencetus kelainan ini adalah stress, merokok, radiasi, kelainan mata dan kulit, pengelihatan kabur, sensitif terhadap sinar, terasa seperti ada pasir dimata, mata dapat menonjol keluar hingga doubel vission. Penyakit mata ini sering berjalan sendiri dan tidak tergantung pada tinggi rendahnya hormon tiroid. Gangguan kulit menyebabkan kulit jadi merah, kehilangan rasa sakit, serta berkeringat banyak.
2. Toxic nodular goiter
Benjolan leher akibat pembesaran tiroid yang berbentuk biji padat, bisa satu atau banyak. Kata toxic berarti hipertiroid, sedangkan nodule atau biji itu tidak terkontrol oleh TSH sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan.
4.3 Klasifikasi
- Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.
Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.
- Nodular Thyroid Disease
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring dengan bertambahnya usia.
- Subacute Thyroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.
- Postpartum Thyroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahan-lahan
4.4 Tanda dan Gejala Hipertiroid
Hipertiroid mempunyai tanda dan gejala yang bervariasi yaitu :
1. Banyak keringat 2. Tidak tahan panas 3. Sering BAB, kadang diare 4. Jari tangan gementar (tremor) 5. Nervus, tegang, gelisah, cemas, mudah tersinggung 6. Jantung berdebar cepat 7. Haid menjadi tidak teratur 8. Bola mata menonjol dapat disertai dengan penglihatan ganda 9. Denyut nadi tidak teratur terutama pada usia diatas 60 th 10. Tekanan darah meningkat | 11. Denyut nadi cepat, seringkali >100x/menit 12. Berat badan turun, meskipun banyak makan rasa capai 13. Otot lemas, terutama lengan atas dan paha 14. Rambut rontok 15. Kulit halus dan tipis 16. Pikiran sukar konsentrasi 17. Kehamilan sering berakhir dengan keguguran 18. Terjadi perubahan pada mata bertambahnya pembentukan air mata, iritasi dan peka terhadap cahaya |
4.5 Patofisiologis
4.6 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini:
- Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid.
- TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
- Bebas T4 (tiroksin)
- Bebas T3 (triiodotironin)
- Diagnosa juga boleh dibuat menggunakan ultrasound untuk memastikan pembesaran kelenjar tiroid
- Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum
- Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia.
BAB V
Jurnal Penelitian
ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGHENTIAN SUPLEMENTASI KAPSUL IODIUM DI KABUPATEN
MAGELANG
Styawan Heriyanto
ABSTRAK
Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pemerintah telah melakukan penanganan melalui program jangka pendek dengan pemberian kapsul iodium, dan jangka panjang dengan garam beriodium. Berlawanan dengan program tersebut, hasil penelitian menunjukan bahwa telah muncul adanya kasus hipertiroid, sehingga pemerintah menghentikan suplementasi kapsul iodium. Kabupaten Magelang menyikapi kebijakan tersebut dengan melakukan pemberian kapsul iodium secara selaktif, namun dari survei ke 29 puskesmas ada 2 kebijakan yang dilaksanakan oleh para pelaksana yaitu stop pemberian kapsul iodum dan pemberian kapsul iodium secara selektif. Menurut Van horn dan Van meter dalam implementasi kebijakan ada 6 faktor yang saling berpengaruh yaitu : Sasaran dan tujuan, sumber daya, Komunikasi, Karakteristik badan pelaksana,Lingkungan, dan sikap pelaksana.
Penelitian ini bertujuan menjelaskan implementasi kebijakan penghentian suplementasi kapsul iodium di Kabupaten Magelang.Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional yang bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan penelitian ini yaitu 4 Petugas gizi puskesmas yang terdiri dari 2 petugas gizi yang melaksanakan kebijakan stop kapsul iodium dan 2 petugas gizi yang melaksanakan kebijakan pemberian kapsul iodium selektif. Instrumen penelitian adalah peneliti dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan dalam implementasi kebijakan Di Kabupaten Magelang ditemukan bahwa standar pelaksanaan belum jelas bagi pelaksana, kurangnya komunikasi dan koordinasi, belum adanya SOP untuk petunjuk pelaksanaan, dan dukungan masyarakat yang kurang. Berdasarkan data laporan, angka TGR pada ibu hamil dan screening NHI tidak ditemukan adanya hipotiroid. Kasus hipertiroid memang ada namun belum terdata.
Dapat disimpulkan bahwa variabel sasaran dan tujuan, sumber daya, komunikasi, karakteristik badan pelaksana, lingkungan, dan sikap pelaksana sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Oleh sebab itu, diperlukan komitmen dari semua pihak dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan.
Kata Kunci : implementasi kebijakan, GAKI, Kapsul Iodium, Hipertiroid
PENDAHULUAN
Iodium merupakan mikronutrien yang diperlukan oleh tubuh untuk sintesis hormon tiroid. Dimana Hormon ini berperan penting dalam metabolisme di dalam sel. Kekurangan iodium akan mengakibatkan apa yang kita sebut dengan gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus – menerus dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (manusia dan hewan). (1)
Pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan GAKI melalui dua cara, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek yaitu dengan melakukan pemberian kapsul minyak beriodium kepada seluruh wanita usia subur (termasuk ibu hamil dan ibu menyusui), serta anak sekolah dasar di kecamatan - kecamatan endemis berat dan sedang. Upaya jangka panjang yaitu penggunaan garam beryodium dalam makanan sehari-hari oleh masyarakat.(2)
Pada tahun 1980 program penanggulangan GAKI di daerah endemik berat dengan melakukan penyuntikan lipiodol (pelarutan iodium). Penduduk yang menerima suntikan tersebut adalah wanita umur 0-45 tahun dan laki-laki umur 0-20 tahun. (3) Mulai tahun 1992 strategi jangka pendek program penanggulangan GAKI dilaksanakan dengan suplementasi kapsul minyak beriodium. Program ini dilakukan dalam rangka mempercepat perbaikan status iodium masyarakat khususnya di daerah endemik sedang dan berat.(4)
Survei nasional evaluasi IP GAKY tahun 2003 menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten adalah endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2% kabupaten endemik berat. (4)
Hasil riskesdas tahun 2007 menunjukan gambaran nasional bahwa konsumsi iodium telah melebihi dari yang dianjurkan. Hasil survey yang diwakili 30 kabupaten / kota menunjukan bahwa dari hasil pemeriksaan urin, median kadar iodium urin anak umur 6-12 tahun adalah 224 µg/L. Jumlah ini masuk dalam kategori diatas angka kecukupan yang dianjurkan yaitu 100-199 µg/L. (6)
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 tersebut, Dirjen Bina Masyarakat mengeluarkan SE JM.03.03/BV/2195/2009 yang berisi kebijakan dalam rangka percepatan penanggulangan GAKI yang salah satu pointnya adalah menghentikan pemberian suplementasi minyak iodium pada semua sasaran yaitu WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI
Menyikapi kebijakan tersebut Kabupaten Magelang mengambil kebijakan pemberian suplementasi kapsul iodium secara selektif dengan melihat bahwa daerah kabupaten magelang merupakan wilayah dataran tinggi yang beresiko terjadinya kejadian GAKI. Cakupan konsumsi garam beriodium keluarga masih rendah hanya 23,39 %. Saat palpasi masih ditemukananya Pembesaran tiroid pada anak SD. Namun cakupan angka suplementasi kapsul iodium tahun 2009 sangat tinggi yaitu 98.84 %.
Berdasarkan survei yang dilakukan bulan Februari tahun 2012, ternyata ada dua jenis kebijakan yang dilaksanakan oleh implementor, yaitu selektif dan stop pemberian kapsul iodium. Dari 29 puskesmas ada 13 puskesmas yang melaksanakan kebijakan selektif dan
ada 16 Puskesmas yang melaksanakan kebijakan stop pemberian kapsul iodium. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui proses implementasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata yang dapat menggambarkan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam penghentian suplementasi kapsul iodium. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini ada 6 yaitu sasaran dan tujuan, sumber daya, komunikasi, karakteristik badan pelaksana, lingkungan, dan sikap pelaksana
Informan utama dalam penelitian ini adalah 4 orang pelaksana kebijakan yaitu petugas gizi puskesmas. Informan triangulasi adalah Kepals seksi gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 4 orang kepala puskesmas dan 4 orang masyarakat. Pengambilan data dilakukan dengan indepth
interview dan pengambilan data
sekunder.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sasaran dan Tujuan Kebijakan Sebuah kebijakan dapat
dipandang sebagai sederet instruksi dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan yang menggambarkan tujuan dan sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut (5)
Hasil penelitian menunjukan bahwa yang menjadi dasar kebijakan adalah apa yang disampaikan oleh Dinas kesehatan. Kebijakan yang dikeluarkan ini hanya diinformasikan secara lesan dan dalam bentuk tidak tertulis. Dengan adanya kebijakan yang tidak tertulis ini mengakibatkan timbulnya intrepretasi yang lain yang diterima oleh para pelaksana. Hal ini ditunjukan dengan adanya dua jenis kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana yaitu pelaksanaaan kebijakan selektif dan stop kapsul iodium
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar yaitu tujuan yang jelas, sasaran yang
spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut Komponen yang ketiga biasanya belum dijelaskan secara rinci dan birokrasi yang harus menerjemahkannya sebagai program aksi dan proyek. Komponen cara berkaitan siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. (6).
B. Sumberdaya
Setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia, sarana prasarana, maupun sumber daya finansial. (5)
Hasil penelitian menunjukan bahwa Sumberdaya manusia yang tersedia adalah petugas gizi, dokter dan bidan. Dalam pelaksanaan tugas mereka mempunyai peranan masing-masing sesuai dengan pendidikanya. Semua petugas telah mendapatkan pelatihan tentang pelaksanaan kebijakan ini. Petugas gizi merupakan
penanggung jawab utama dalam pelaksanaan kebijakan ini, sehingga dari hasil wawancara diperoleh pernyataan dari pelaksana kebijakan, bahwa petugas gizilah yang bekerja sendiri, sehingga merasa sumber daya manusia yang ada adalah kurang
Untuk sumberdaya finansial Hasil penelitian menunjukan bahwa dana untuk pelaksanaan kebijakan ini memang ada, namun tidak semua pelaksana memahami keberadaan dana tersebut sehingga beranggapan bahwa dana untuk pelaksanaan kebijakan ini tidak ada
C. Karakteristik organisasi pelaksana
Untuk melaksanaan kebijakan sesuai dengan standar dan tujuan maka diperlukan koordinasi di antara pihak-pihak yang terlibat, sehingga akan meminimalkan tarjadinya kesalahan. (5)
Hasil penelitian menunjukan bahwa koordinasi antara pelaksana dan pembuat kebijakan sudah berjalan. Koordinasi antar pelaksana terjadi di puskesmas yaitu
antara petugas gizi, bidan dan dokter. Koordinasi dipuskesmas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan dan untuk membahas bila ada permasalahan. Intensitas koordinasi antar pelaksana sering dilakukan karena setiap minggu mereka mengadakan pertemuan. Koordinasi dengan pembuat kebijakan yaitu dengan Dinas Kesehatan dilakukan saat pertemuan dengan dinas kesehatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa intensitas koordinasi dengan dinas kesehatan jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan koordinasi dilakukan hanya saat pertemuan petugas gizi dan Dinas yang dilaksanakan dengan waktu yang tidak terjadwal yaitu setahun sekitar 3 kali pertemuan.
Menurut Edward III Struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah struktur organisasi dan Standar Operating Prosedur (SOP)
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat struktur
organisasi dan SOP dalam pelaksanaan kebijakan ini
Monitoring adalah memonitor situasi secara berkelanjutan apakah kondisi dari populasi mengalami peningkatan, sama ataukah buruk, mengetahui kondisi itu melebar atau menyempit, mengetahui apakah pelaksanaan program masih sejalan dengan asumsi dan pemahaman awal tentang situasinya dan memonitor kondisi secara langsung untuk menjaga kesinambungan usaha yang ditempuh manager program untuk menyesuaikan layanan/intervensi mereka dengan kondisi saat ini. (5)
Hasil penelitian menunjukan bahwa para pelaksana belum pernah mendapatkan kunjungan dari Dinas Kesehatan dalam rangka memantau pelaksanaan kebijakan. Dinas kesehatan mengetahui situasi kasus GAKI di kabupaten hanya berdasarkan laporan dari masing-masing pelaksana.
D. Komunikasi antar Organisasi Agar kebijakan publik bisa
dilaksanakan dengan efektif
setiap pelaksana kebijakan harus memahami standar dan tujuan kebijakan oleh karena itu karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam
(consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi. (5)
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Magelang telah disosialisasikan ke seluruh petugas kesehatan yang ada di puskesmas. Sosialisasi telah dilakukan dalam rapat dengan dinas kesehatan. Sosialisasi kepada masyarkat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan kepada perorangan atau kelompok masyarakat. Waktu sosialisasi dan sasaran sosialisasi yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan tidak terencana, sehingga ada masyarakat yang belum mendapatkan kejelasan isi kebijakan tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi antar tim
terjalin dengan baik melalui bicara langsung, sms, atau telefon. Komunikasi terjadi hampir tiap hari karena berada dalam satu kantor. Dan kalaupun tidak bertemu mereka biasa melakukanya melalui telefon. Sedangkan komunikasi dengan Dinas Kesehatan adalah kurang karena dilakukan hanya saat ada rapat di dinas kesehatan atau ada keperluan ke dinas saja.
E. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Masyarakat kabupaten magelang merupakan masyarakat yang terbuka dan terdidik. Selama ini pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan berjalan dengan baik. Respon awal dari masyarakat baik, hal ini ditunjukan dengan adanya pertanyaan dari masyarakat tentang kebijakan yang berjalan dan setelah mendapatkan penjelasan mereka mau menerima kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa respon masyarakat terhadap kebijakan adalah menerima. Apalagi kebijakan tersebut merupakan kebijakan
pemerintah dan demi kebaikan masyarakat.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa rata-rata kemampuan ekonomi dalam masyarakat adalah kurang. Demikian juga kemampuan ekonomi dalam mendukung kebijakan. Meskipun pemeriksaan laboratorium sudah gratis namun masyarakat kadang tidak mau karena alasan transportasi dan biaya lainya.
Meskipun pelaksanaan kebijakan tidak sesuai dengan apa yang diinstruksikan, namun sikap dari Dinas Kesehatan adalah mendukung kebijakan yang dilaksanakan tersebut. Dinas Kesehatan beranggapan bahwa kebijakan yang laksanakan oleh para pelaksana, sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu melakukan penanganan yang sama terhadap kasus yang berkaitan dengan iodium. Dukungan dari pemangku jabatan tingkat desa juga baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa selama ini kerjasama dengan aparat desa dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut baik.
Dukungan dari institusi lain ikut mendukung dalam pelaksanaan kebijakan. Hasil penelitian menunjukan bahwa banyak penelitian yang berhubungan dengan iodium yang dilaksanakan di Kabupaten Magelang. Selain itu ada institusi yang khusus melakukan penelitian tentang iodium di Kabupaten Magelang
F. Disposisi atau sikap para pelaksana
Dalam pelaksanaan kebijakan penghentian suplementasi kapsul Iodium di Kabupaten Magelang para pelaksana sudah mendapatkan sosialisasi dan pemahaman tentang kebijakan. Namun demikian ada pelaksana yang masih belum menerima terhadap kebijakan yang dilaksanakan di wilayah kerjanya. Namun demikian ia tetap melaksanakan kebijakan tersebut. Dan pelaksana yang lain sudah menerima terhadap kebijakan dan sudah melaksanakanya. Kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan ada dua macam. Dari hasil penelitian memperlihatkan
bahwa para pelaksana
menginterpretasikan sendiri terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan. Namun karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang sudah lama, hanya berbeda dalam pelaksanaan suplementasi kapsul iodium, para pelaksana sudah memahami apa yang menjadi tujuan kebijakan yaitu penanganan kasus hipotiroid dan hipertiroid dapat dilaksanakan dengan baik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bagi yang melaksanakan stop kapsul iodium mereka tetap melakukan pemantauan pada kasus hipotiroid dan hipertiroid. Namun untuk pemberian kapsul iodium mereka sama sekali tidak memberikan (stop total). Sedangkan bagi yang melaksanakan kebijakan selektif ada perbedaan sasaran yang diberi kapsul iodium. Salah satu pelaksana memberikan kapsul iodium pada sasaran yang dicurigai hipotiroid dan sudah dipalpasi minimal grade 1. Pelaksana lainya masih memberikan kapsul iodium kepada ibu hamil dan anak sekolah.
Untuk komitmen terhadap kebijakan hasil penelitian menunjukan bahwa para pelaksana mempunyai komitmen yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena masing-masing pelaksana mempunyai pemikiran labih lanjut dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Dari 4 puskesmas yang diwawancara hanya 1 puskesmas yang masih berkomitmen untuk tidak memberikan kapsul iodium. 2 puskesmas yang menngambil kebijakan selektif dan 1 puskesmas yang mangambil kebijakan stop menyatakan akan memberikan kapsul iodium dengan syarat hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan hasil positif hipotiroid.
G. Prestasi Kerja
Sampai saat ini pemeriksaan ini masih dilaksanakan oleh semua pelaksana kebijakan. Hasil penelitian menunjukan bahwa angka kejadian hipotiroid pada ibu hamil adalah nol demikian juga hasil screening tidak ditemukan bayi baru lahir yang dicurigai hipotiroid.
Kasus hipertiroid merupakan salah satu faktor yang menyebabkan dikeluarkanya kebijakan penghentian suplementasi kapsul iodium. Hasil penelitian menunjukan bahwa kasus kejadian hipertiroid di Kabupaten Magelang memang ada. Namun baik pelaksana kebijakan ataupun dinas kesehatan tidak mempunyai catatan tentang jumlah angka kejadian hipertiroid tersebut.
SIMPULAN
1. Kebijakan tentang pemberian kapsul iodium secara selektif dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan hanya secara lesan sehingga mengakibatkan intrepretasi yang berbeda oleh para palaksana kebijakan
2. Pengaturan sistem beban kerja yang belum diatur. Hal ini mengakibatkan pelaksana kebijakan merasakan beban yang banyak sehingga merasakan kekurangan tenaga. Keberadaan dana belum sepenuhnya diketahui oleh para pelaksana.
3. Sosialisasi kebijakan kepada
pelaksana belum efektif
demikian juga sosialisasi kepada masyarakat belum sepenuhnya dilaksanakan. Komunikasi antara pelaksana dan pembuat kebijakan belum berjalan dengan baik.
4. Koordinasi antara pelaksana dengan Dinas Kesehatan masih jarang dilakukan. Struktur organisasi dan SOP belum ada.
5. Dukungan masyarakat masih kurang dan salah satunya karena faktor ekonomi. Adanya instansi lain yang ikut terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.
6. Pemahaman para pelaksana tentang alasan kebijakan, tujuan dan resiko sudah baik namun komitmen untuk menjalankan kebijakan yang dipilih kurang.
7. Tidak ada perbedaan hasil antara yang melakukan stop kapsul dan selektif karena standar yang digunakan hanya TGR ibu hamil dan Screening bayi.
3.8.Jurnal Penelitian Tentang Hipertiroit
HUBUNGAN HIPERTIROID DENGAN AKTIVITAS KERJA PADA WANITA USIA SUBUR
Sri Supadmi1, Ova Emilia2, Hari Kusnanto3
1 Balai Penelitian Pengembangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Magelang, Jawa Tengah 2,3Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, UGM, Yogyakarta
ABSTRACT
Background: Based on disorder mapping due to Iodine deficiency in 1998 and 2003, elimination of Iodine deficiency in household by consuming minimally 90 percent Iodine salt and giving Iodine oil capsule to fertile women in endemic Iodine deficiency, medium to severe, had been carried out. Evaluation of Iodine in urine appeared related to hyperthyroid cases, and a number of people were in critical Iodine status. Hyperthyroid especially for fertile women may cause fatigue and led to low working activity.
Objective: To find out correlation between thyroid and working activity of fertile women in endemic Iodine deficiency.
Method: The study was a cross-sectional design using two samples in Magelang District. The samples were 100 fertile women who were divided into two groups, namely hyperthyroid (50 persons) and norm thyroid group (50 persons) taken by using systematic sampling.
Result: Bivariate analysis showed significant relationship between hyperthyroid and working activity (RP=4.10; 95%Cl; 2.32 - 7.24). Using stratification analysis it was found that hyperthyroid were higher among women with hormonal contraceptive (RP=6.45; 95%Cl; 2.55 - 16.34) and consumed Iodine capsule (RP=4.73; 95%Cl; 2.37 - 9.43).
Conclusion: There was a significant correlation between hyperthyroid and working activity of fertile women. Hyperthyroid women tend to have lower working activity (four times lower) than norm thyroid women. The modified effects were hormonal contraceptive and Iodine capsule factors. The factors not affecting the correlation between hyperthyroid and working activity of fertile women were age, Body Mass Index (BMI) and Iodine salt consumption.
Keywords: Iodine deficiency, hyperthyroid, working activity
- PENDAHULUAN
Upaya eliminasi Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Gaki) secara global dicanangkan pada tahun 1990 dalam “World Summit for Children”. Target yang akan dicapai dalam United Nations General Assembly Special Session for Children tahun 2002 untuk eliminasi Gaki adalah minimal 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beriodium pada tahun 2005. Kenaikan prevalensi gondok di daerah nonendemik dan endemik ringan ada kaitannya dengan terjadinya hipertiroid. Hal ini diungkapkan pada penelitian di Zimbabwe bahwa thyrotoxicosis naik tiga kali lipat setelah penggunaan garam beriodium selama empat tahun yaitu 2,8 per 100.000 pada tahun 1991 menjadi 7,4 per 100.000 pada tahun 1995.1 Kebanyakan penderita thyrotoxicosis adalah wanita dengan rata-rata usia 41 tahun. Prevalensi hipertiroid lebih kurang 10 per 100.000 pada wanita di bawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 pada wanita yang berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika pada wanita sebesar 1,9% dan pria 0,9%. Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi hipertiroid berkisar 1%-2%, dan di Inggris kasus hipertiroid terdapat pada 0,8 per 1000 wanita per tahun.1 Menurut Asdie2 prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti dan penderita hipertiroid wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria yaitu 5 banding 1. Kadar rata-rata iodine dalam urine pada survei evaluasi tahun 2003 adalah 229 mg/L.
Di tingkat provinsi kadar tertinggi adalah 337 mg/L dan sebanyak 35% masuk kategori risiko kelebihan iodine (yaitu >300 mg/L). Hal ini menunjukkan bahwa munculnya penyakit hipertiroid perlu diwaspadai seiring dengan penanggulangan Gaki melalui konsumsi garam beriodium maupun kapsul beriodium. Pada penelitian ekskresi iodium dalam urine tahun 1996/1998 dan tahun 2003 tampak terjadinya perubahan banyaknya kabupaten/kota yang mempunyai nilai median Urineary Iodine Excretion (UIE) di atas normal.
Kalau pada tahun 1996/1998 yang termasuk kategori Iodine Induced hyperthyroidism dan risiko gangguan kesehatan hanya 24,4%, maka pada tahun 2003 naik menjadi 66,8%, yang berarti sebagian penduduk memiliki status iodium yang dapat menimbulkan ganguuan kesehatan dan mempengarui aktivitas sehari-hari.
Hasil pemetaan tahun 2003 didapatkan bahwa angka TGR ditingkat nasional 11,7% yang berarti terdapat kenaikan jumlah penderita Gaki dibanding tahun 1998. Kenyataan lain di Indonesia dari hasil pemeriksaan sudah banyak yang mengalami kadar iodium dalam urine > 300 mg/L, artinya memiliki kecenderungan menderita hipertiroid. Oleh karena itu, dalam program penanggulangan Gaki di Indonesia ada dua masalah yang dihadapi yaitu hipotiroid dan hipertiroid yang berdampak buruk terhadap menurunnya kondisi kesehatan manusia. Dalam menanggulangi Gaki yang muncul sebagai penyakit hipotiroid, maka pemerintah telah mengupayakan program yang mengkampanyekan penggunaan garam beriodium dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari, sehingga diharapkan kebutuhan iodium masyarakat dapat terpenuhi melalui makanan sehari-hari dan dapat terhindar dari penyakit hipotiroid.
Kebijakan untuk mengkonsumsi garam beriodium kepada masyarakat perlu disertai pemilahan lokasi tempat tinggal yang perlu diprioritaskan untuk mengkonsumsi garam beriodium dan kapsul beriodium, misalnya lokasi endemik Gaki di pegunungan atau di pinggiran pantai. Hal ini dikhawatirkan masyarakat di lokasi nonendemik dan endemik Gaki yang sudah cukup konsumsi iodiumnya akan menjadi kelebihan iodium dari konsumsi garam iodium dan kapsul beriodium. Hal ini dapat menimbulkan penyakit sebaliknya dari hipotiroid yaitu hipertiroid yang sama bahayanya karena mengganggu kesehatan khususnya yang berdampak pada aktivitas kerja wanita usia subur di daerah tersebut. Kasus hipertiroid yang muncul di daerah endemik Gaki perlu diwaspadai seiring dengan penanggulangan Gaki pada penderita hipotiroid berupa pemberian kapsul minyak beriodium dan konsumsi garam beriodium di tingkat rumah tangga.
Dari beberapa hasil penelitian dan evaluasi ternyata kabupaten/kota yang mempunyai UIE kategori “Iodine Induced Hyperthyroidism” memiliki risiko naiknya gangguan kesehatan dari 24,4% pada tahun 1996/1998 menjadi 66,8% pada tahun 2003. Selain itu, sekitar 35% mempunyai nilai UIE lebih besar dari 300 mg/L, yang menunjukkan bahwa sebagian penduduk berada pada status iodium yang dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan dan aktivitas kerja sehari-hari. Lebih jauh lagi risiko pada wanita usia subur lebih serius karena berpegaruh pada kesehatan reproduksinya. Pada wanita usia subur akan mengalami proses kehamilan sampai dengan persalinan, sehingga kalau terjadi gangguan kesehatan karena penyakit hipertiroid akan berakibat buruk terhadap kualitas kesehatan maupun kesehatan janin yang dikandungnya. Hal ini didukung oleh penelitian Kishi4 bahwa pada wanita yang bekerja akan mengalami dampak gangguan kesehatan reproduksi. Selain itu, wanita usia subur yang seharusnya dapat beraktivitas dengan maksimal menjadi rendah karena adanya hipertiroid yang dideritanya. Untuk mewaspadai dan mempelajari fenomena hipertiroid dan aktivitas wanita, maka perlu dilakukan penelitian apakah kondisi hipertiroid dapat mempengaruhi aktivitas kerja pada wanita usia subur di daerah endemik Gaki.4
2. BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan dua sampel, yang pertama di antara populasi wanita hipertiroid dan yang ke dua di antara populasi wanita yang normotiroid. Jenis penelitian bersifat kuantitatif (penelitian) untuk mengetahui adanya hubungan antara hipertiroid dengan aktivitas kerja pada wanita usia subur. Dalam penelitian ini data hipertiroid menggunakan data sekunder dari balai penelitian pengembangan Gaki
Magelang tahun 2004–2005 yang merupakan balai penelitian pengembangan penanggulangan Gaki tingkat nasional. Data aktivitas kerja mengambil data primer menggunakan kuesioner terbuka dengan menggolongkan besar aktivitas berdasarkan ekuivalen kalori yang dikeluarkan.
Penelitian dimulai dengan melakukan observasi pada waktu yang sama terhadap variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang termasuk efek. Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Sawangan, Kecamatan Dukun, Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah. Populasi adalah semua Wanita Usia Subur yang bertempat tinggal di wilayah kecamatan yang masuk daerah endemik Gaki. Sampel penelitian ini wanita usia subur umur 15 - 49 tahun yang sudah mengalami menstruasi dan masih mengalami menstruasi. Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang menderita hipertiroid sebagai kelompok risiko, serta wanita usia subur yang tidak hipertiroid (mempunyai nilai TSH normal) sebagai kelompok yang tidak berisiko.
Kriteria eksklusi adalah wanita usia subur yang cacat fisik (bungkuk) karena kondisi ini tidak memungkinkan dilakukan pengukuran tinggi badan. Besar sampel seluruhnya 100 orang yang terdiri dari 50 orang dari kelompok hipertiroid dan 50 orang dari kelompok normotiroid. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan probability sampling dengan cara systematic sampling.
Dalam penelitian ini menggunakan empat variabel, yaitu: variabel bebas (independent variable) adalah hipertiroid, variabel terikat (dependent variable) aktivitas kerja, variabel pengganggu (confounding variable) yaitu umur, Keluarga Berencana (KB) hormonal, BMI dan variabel luar kapsul beriodium, garam beriodium. Tahap pengolahan data meliputi editing, tabulating dan cleaning. Analisis data dengan analisis diskriptif, analisis univariabel, analisis bivariabel, dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan P<0,05.
- HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Responden dalam penelitian terbagi merata yang berstatus hipertiroid dan normotiroid. Demikian pula dengan tingkat aktivitas kerja responden hampir masing-masing separuh memiliki aktivitas rendah dan tinggi. Lebih dari 80% responden berusia muda (kurang dari 40 tahun) dan karenanya cenderung juga menggunakan metode KB hormonal (61%). Responden yang memiliki BMI normal adalah 64%. Lebih dari 80% responden telah mengkonsumsi garam iodium ataupun kapsul iodium (Tabel 1).
| Tabel 1. | Distribusi Frekuensi |
|
| Menurut Karakteristik Responden | ||
|
|
|
|
| Karakteristik | Frekuensi | Persentase |
| Status Tiroid |
|
|
| - Hipertiroid | 50 | 50 |
| - Normotiroid | 50 | 50 |
| Aktivitas Kerja |
|
|
| - Rendah | 51 | 51 |
| - Tinggi | 49 | 49 |
| Umur |
|
|
| - > 40 tahun | 14 | 14 |
| - 40 tahun | 86 | 86 |
| KB Hormonal |
|
|
| - Ya | 61 | 61 |
| - Tidak | 39 | 39 |
| Body Mass Index |
| |
| (BMI) | 7 | 7 |
| - Kurus | 64 | 64 |
| - Normal |
|
|
| Konsumsi Garam |
|
|
| - 30 ppm | 91 | 91 |
| - < 30 ppm | 9 | 9 |
| Minum Kapsul Iodium |
| |
| - Ya | 88 | 88 |
| - Tidak | 12 | 12 |
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada wanita usia subur yang hipertiroid dengan aktivitas kerja. Pada wanita usia subur hipertiroid mengalami aktivitas kerja rendah empat kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita usia subur yang normotiroid. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sutanegara5 bahwa hipertiroid yang terjadi pada populasi dengan kebiasaan mengkonsumsi iodium tinggi atau pada penduduk di daerah kekurangan iodium yang mendapatkan program intervensi iodium.
Lokasi penelitian ini juga merupakan daerah endemik Gaki yang mendapatkan program intervensi iodium berupa kapsul iodium.5 Hal serupa juga disampaikan oleh Wolff6 yang menyimpulkan bahwa hipertiroid dapat disebabkan oleh pemakaian iodium dalam jumlah banyak dalam waktu yang panjang yaitu 5 tahun pada sebagian besar kasus, meskipun ada pula beberapa kasus dengan waktu kurang dari
6 bulan.
Dari hasil analisis bivariabel (Tabel 2) ternyata pada wanita usia subur yang hipertiroid mempunyai aktivitas kerja rendah lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita usia subur yang normotiroid. Hal ini sesuai dengan Greenspan, Boxter dan Guyton7 bahwa penderita hipertiroid mempunyai karakteristik gejala antara lain cepat merasa lelah apabila sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan kesehatan lain yang muncul adalah otot terasa lemas dan keluar keringat dingin. Demikian juga menurut Kishi4 bahwa pada wanita yang bekerja akan memberikan dampak terhadap gangguan kesehatan reproduksinya.
Pemakaian alat kontrasepsi hormonal (pil, suntik, dan susuk) tidak memberikan hubungan yang bermakna terhadap aktivitas kerja. Berdasarkan hasil analisis stratifikasi bahwa pada wanita usia subur hipertiroid yang memakai KB hormonal maupun wanita usia subur hipertiroid yang tidak memakai KB hormonal berhubungan dengan tingkat aktivitas kerja. Hal ini berarti bahwa pemakaian KB hormonal ataupun tidak pada wanita usia subur yang hipertiroid tidak berpengaruh pada aktivitas kerja. Pada analisis stratifikasi ternyata nilai rasio prevalensi naik bila dibandingkan dengan crude ratio yang berarti bahwa KB hormonal memiliki efek modifikasi terhadap hubungan antara hipertiroid dengan aktivitas kerja. Keluarga Berencana (KB) hormonal memiliki pengaruh terhadap fungsi tiroid terutama pada estrogen dan progesteron yang dapat meningkatkan kadar tiroksin, sedangkan nilai T3 menjadi menurun.
Selain itu, progesteron juga memacu fungsi tiroid untuk menghasilkan tiroksin tetapi juga memacu ekskresi iodium melalui urine. Peningkatan TSH akan memacu kelenjar tiroid untuk mensintesis lebih banyak tiroksin, sehingga dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Kumorowulan8 tentang hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan nilai TSH dan T4 pada wanita pasangan usia subur di daerah endemik gondok. Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang bermakna antara pengguna kontrasepsi hormonal dengan kadar hormon Tiroksin (T4). Kelompok pasangan usia subur yang menggunakan kontrasepsi hormonal berisiko 0,18 kali untuk mempunyai status iodium rendah. Tidak ditemukan adanya perbedaan nilai median kadar TSH dan T4 antara pengguna alat kontrasepsi pil (campuran estrogen dan progesteron) dengan suntik (progesteron).
Prevalensi hipertiroid akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur.1 Dari hasil analisis penelitian ini diperoleh bahwa umur wanita usia subur tidak berhubungan signifikan dengan aktivitas kerja meskipun terdapat 64,3% wanita usia subur yang berumur > 40 tahun mempunyai aktivitas kerja rendah. Hasil analisis stratifikasi menunjukkan bahwa pada wanita usia subur yang hipertiroid usia = 40 tahun akan berisiko mengalami aktivitas kerja rendah. Pada wanita usia subur yang hipertiroid yang berumur > 40 tahun juga berisiko mengalami aktivitas kerja rendah. Dengan demikian umur pada wanita usia subur yang hipertiroid tidak akan berpengaruh terhadap aktivitas kerja.1
Hasil analisis bivariabel menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara body mass index kategori kurus dan kategori normal terhadap aktivitas kerja. Dari hasil stratifikasi ternyata pada wanita usia subur hipertiroid dengan kategori kurus tidak berisiko mengalami aktivitas kerja rendah tetapi pada wanita usia subur hipertiroid kategori normal akan berisiko mengalami aktivitas kerja rendah. Hasil ini bertentangan dengan yang disampaikan ATA bahwa pasien hipertiroid akan mengalami kehilangan berat badan yang semakin lama semakin menjadi kurus.9
Pada wanita usia subur yang mengkonsumsi garam beriodium di tingkat rumah tangga tetapi mengalami aktivitas kerja rendah mencapai 51,6% dan wanita usia subur yang minum kapsul beriodium tetapi mengalami aktivitas kerja rendah mencapai 51,1%. Hasil analisis bivariabel menunjukkan bahwa pada wanita usia subur yang mengkonsumsi garam beriodium dan minum kapsul beriodium tidak berhubungan signifikan terhadap aktivitas kerja. Hasil analisis stratifikasi pada wanita usia subur hipertiroid yang mengkonsumsi garam beriodium = 30 ppm di tingkat rumah tangga akan berpengaruh terhadap aktivitas kerja.
Pada wanita usia subur hipertiroid yang tidak mengkonsumsi garam beriodium (< 30 ppm) di tingkat rumah tangga memberikan hasil tidak berpengaruh terhadap aktivitas kerja. Pada wanita usia subur hipertiroid yang minum kapsul beriodium maupun yang tidak minum kapsul beriodium diperoleh hasil tidak berpengaruh terhadap aktivitas kerja. Setelah dilakukan stratifikasi ternyata minum kapsul iodium merupakan faktor efek modifikasi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Yang Fan10 dengan melakukan survei epidemiologi terhadap hubungan antara konsumsi iodium dengan prevalensi hipertiroid yang dilakukan di daerah endemik Gaki diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang berma
Tabel 3. Stratifikasi Variabel Pengganggu dan Variabel Bebas Terhadap Aktivitas Kerja
| Variabel | Status Tiroid |
| Aktivitas | X2 | p-value | RP | IK 95% | RP MH |
| ||
| Pengganggu |
| Rendah |
| Tinggi |
| ||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| |||
KB Hormonal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| ||
- Ya | - Hipertiroid | 25 (83,3%) | 5 | (16,7%) | 30.32 | 0.00 | 6,46 | 2,55-16,34 | 4,07 |
| ||
|
| - Normotiroid | 4 | (12,9%) | 27 (87,1%) |
|
|
|
|
|
| |
- Tidak | - Hipertiroid | 16 (78,9%) | 4 | (21,1%) | 8.62 | 0.00 | 2,50 | 1,24-5,04 |
| |||
|
| - Normotiroid | 6 | (31,6%) | 13 (68,4%) |
|
|
|
|
|
| |
Kapsul Iodium |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| |
- Ya | - Hipertiroid | 38 (80,9%) | 9 | (19,1%) | 35.65 | 0.00 | 4,74 | 2,38-9,43 | 4,45 | |||
|
| - Normatiroid | 7 | (17,1%) | 34 (82,9%) |
|
|
|
|
|
| |
- Tidak | - Hipertiroid | 3 | (100%) | 0 | (0%) | 4.00 | 0.05 | 3,00 | 1,19-7,56 |
|
| |
|
| - Normotiroid | 3 | (33,3%) | 6 | (66,7%) |
|
|
|
|
|
|
Konsumsi Garam |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| ||
- | 30 ppm | - Hipertiroid | 39 (81,3%) | 9 | (18,8%) | 35.64 | 0.00 | 4,37 | ,30-8,28 | 4,28 | ||
|
| - Normatiroid | 8 | (18,6%) | 35 (81,4%) |
|
|
|
|
| ||
- | < 30 ppm | - Hipertiroid | 2(100%) | 0 | (0%) | 3.21 | 0.07 | 3,50 | 1,09-11.29 |
| ||
|
| - Normotiroid | 2 | (28,6%) | 5 | (71,4%) |
|
|
|
|
|
|
Umur |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| ||
- | 40 tahun | - Hipertiroid | 33(80,5%) | 8 | (19,5%) | 31.41 | 0.00 | 4,02 | 2,20-7,36 | 4,08 | ||
|
| - Normotiroid | 9 | (20,0%) | 36 (80,0%) |
|
|
|
|
| ||
- | > 40 tahun | - Hipertiroid | 8 | (88,9%) | 1 | (11,1%) | 6,64 | 0.00 | 4,44 | 0,76-26.05 |
|
|
|
| - Normotiroid | 1 | (20,0%) | 4 | (80,0%) |
|
|
|
|
|
|
BMI |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| ||
- Obesitas | - Hipertiroid | 4(100%) | 0 | (0%) | 6.74 | 0.01 | 4,50 | 1.33-15.28 | 4,76 |
| ||
|
| - Normotiroid | 2 | (22,2%) | 7 | (77,8%) |
|
|
|
|
|
|
- Overweight | - Hipertiroid | 10 (83,3%) | 2 | (16,7%) | 7,48 | 0.00 | 5,00 | 0,82-30.46 |
|
| ||
|
| - Normotiroid | 1 | (16,7%) | 5 | (83,3%) |
|
|
|
|
|
|
Crude Rasio = 4,10
antara konsumsi iodium yang berupa garam beriodium dengan prevalensi hipertiroid. Hal yang berbeda disampaikan oleh Budiman yang dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa peluang kejadian iodine induced hyperthyroidism di daerah bukan endemik defisiensi iodium dan endemik ringan adalah 4,4 kali lebih besar dari pada di daerah endemik sedang dan berat.
Ibu usia reproduktif yang tinggal di daerah endemik sedang dan berat lebih terlindung dengan konsumsi kapsul sistem blanket (OR 0,21 ( 0,07 – 0,58 )) dan kandungan garam beriodium 30 ppm.11 Komari12 dari hasil penelitiannya memperoleh bahwa garam yang di yodisasi dengan bio iodium sama efektifnya dalam mengempiskan/ mengecilkan pembesaran kelenjar gondok. Dalam penyembuhan hipotiroid bioiodium lebih efektif, sedangkan penggunaan dosis iodium dengan fortifikasi garam perlu dikoreksi.12 Hasil penelitian yang berbeda juga disampaikan oleh Setyani yang menemukan perbedaan bermakna (p<0,05) median kadar TSH sebelum intervensi (pemberian kapsul iodium dosis tinggi) dengan enam bulan setelah intervensi, antara median kadar UIE sebelum intervensi dengan tiga hari setelah intervensi (p<0,05), median kadar UIE tiga hari setelah intervensi dengan enam bulan setelah intervensi (p<0,05). Nilai median kadar TSH sebelum intervensi dan setelah intervensi enam bulan menunjukkan bahwa setelah enam bulan intervensi maka nilai TSH pada wanita usia subur di daerah endemik Gaki menjadi turun.13
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Wanita usia subur yang menderita hipertiroid menunjukkan hubungan signifikan terhadap aktivitas kerja yang rendah dan aktivitas kerja rendah sebesar empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita usia subur yang normotiroid. Variabel KB hormonal, umur, BMI, garam beriodium dan minum kapsul beriodium tidak berhubungan signifikan dengan aktivitas kerja meskipun pada analisis stratifikasi terdapat hubungan wanita usia subur hipertiroid yang mengkonsumsi garam beriodium = 30 ppm dengan aktivitas kerja. Analisis stratifikasi menunjukkan bahwa KB hormonal dan minum kapsul iodium masuk sebagai efek modifikasi.
Berdasarkan dari hasil penelitian ini maka dapat disarankan bahwa skrining pada wanita usia subur yang telah mendapatkan pengobatan hipertiroid dan yang baru menjalani pengobatan hipertiroid agar tidak minum kapsul beriodium. Kegiatan skrining sebaiknya dilaksanakan sebelum waktu distribusi kapsul iodium kepada sasaran.
KEPUSTAKAAN
Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme
Penyakit. Edisi Revisi. Department of Physiologi and Biophysics. Mississippi. 1991.
Asdie. Hipertiroid Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta. 1987.
Departemen Kesehatan RI. Pedoman Distribusi
Kapsul Minyak Beriodium Bagi Wanita Usia Subur. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.Jakarta.1997.
Kishi, R. Work Related Reproductive,
Musculoskeletal and Mental Disorders among Working Women History, Current Issue and Future Research Directions. Industrial Health. 2001;40:101-112.
Sutanegara, D. Kelebihan Iodium (Iodine Excess) Indonesian Journal of IDD. 2004;3(1 – 3).
Wolff. Iodine Goiter and the Pharmacologic Effects of Excess Iodine. Am J Med. 1969;47
BAB VI
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hipertiroidisme digambarkan sebagai suatu kondisi dimana terjadi kelebihan sekresi hormone tiroid dan Hipotiroidisme merupakan penurunan sekresi hormone kelenjar tiroid sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebut uhan jaringan tubuh akan hormone-hormon tiroid.
3.2.Kritik dan Saran
Sebagai penyusun, kami merasa bersyukur dan bangga dapat menyelesaikan makalah ini dengan sedemikian rupa, tetapi, makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun memohon kritik dan saran dari para pembaca karena kami sadar tiada hal yang sempurna di muka bumi ini, yang pepatah mengatakan “Tiada gading yang tak retak”, kecuali Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. IPD Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: Departemen IPD FK UI
2. Behrman, Kliegman, & Arvin. 2000. Nelson Textbook 0f Pediatrict. Edisi 15, vol 3. Jakarta: EGC
3. Stein, Jay H. 2001. Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: EGC
4. Meisenberg, Gerhard. 2006. Principles of Medical Biochemeistry. China. Mosby Elsevier
5. Nissenson, Allen R. 2005. Clinical Dialysis. New York: The McGraw-Hill Complications
6. Norwitz Errol R & Schorge John O. 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga
7. Molina, Patricia E. 2010. Endocrine Physiology. Edisi ke-3. USA. Mc Graw Hill Medical.
8. Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC
9. Rubenstein David, Wayne David, Bradley John. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta: Erlangga
10. Sacher, Ronald A. 2004. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Jakarta: EGC
11. Chanrasoma, parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2.Jakarta: EGC
12. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
0 Response to "MAKALAH PENYAKIT ENDOKRIN"
Posting Komentar