BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Tinjauan Medis
1.1.1. Pengertian
Combustio atau Luka bakar adalah Cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation) yang mengenai kulit/ mukosa dan jaringan yang lebih dalam.
Luka bakar atau combustio adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
Combustion (Luka bakar) merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka waktu yang lama. (Smeltzer, 2001 : 1911).
Combustio adalah oksidasi yang cepat disertai pemancaran panas (Kamus Kedokteran, Dorland 1994,).
Combustio adalah luka yang terjadi akibat panas, bahan kimia, korosif, listrik atau radiasi dengan rentang keparahan mulai dari luka superficial yang menyangkut kerusakan epidermis sampai luka bakar yang mengenai seluruh ketebalan kulit dimana semua elemen kulit mengalami kehancuran (Manajemen luka, 2002).
Combustio adalah cedera ketebalan parsial dan ketebalan penuh yang berhubungan dengan brbagai lapisan kulit (Hudak & Gallo, 1996).
1.1.2. Etiologi
Penyebab luka bakar di golongkan menjadi beberapa bagian menurut mekanisme injurinya, meliputi :
- Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
- Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
- Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
- Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
1.1.3. Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh National Burn Information Exchange menyatakan 75 % semua kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan usia lebih dari 70 tahun beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.
1.1.4. Faktor Predisposisi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik (Smeltzer, 2001;1911).
a. Panas (misal api, air panas, uap panas)
b. Radias
c. Listrik
d. Petir
e. Bahan kimia (sifat asam dan basa kuat)
f. Ledakan kompor, udara panas
g. Ledakan ban, bom
h. Sinar matahari
i. Suhu yang sangat rendah (frost bite)
1.1.5 Patofisiologi
a. Fase Emergency
Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di IRD / Unit luka bakar. Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma lainnya, akan mengalami ancaman dan gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernafas) dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma , inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi.
b. Fase Akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
c. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi berlangsung dari penutupan luka yang besar hingga kembalinya kepada tingkat penyesuaian fisik dan psikososial yang optimal. Pada fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.
1.1.7. Klasifikasi Luka Bakar
a. Dalamnya Luka Bakar
- Superficial ( Derajat 1 )
Luka bakar permukaan yang tidak terlalu serius dan hanya mengenai lapisan kulit bagian atas. Sering kali disertai pembentukan vesikel (gelembung berisi cairan). Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperficial), kulit hipermik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 3 – 7 hari tanpa pengobatan khusus.
- Partial Thickness ( Derajat 2 )
Luka bakar mengenai sebagian dari ketebalan kulit. Luka bakar dengan kedalaman ini sering kali disertai dengan rusaknya struktur di bawah kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebaseus (minyak), atau jaringan kolagen. Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Dibedakan atas 2 bagian :
1. Derajat 2 dangkal ( IIA )
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis.
Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak. Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk cicatrik.
2. Derajat 2 dalam ( IIB )
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
- Full Thickness ( Derajat 3 )
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung – ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
b. Menurut Wallace ( Rule Of Nine )
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
- Dewasa :
1) Kepala dan leher : 9%
2) Lengan masing-masing 9% : 18%
3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
4) Tungkai maisng-masing 18% : 36%
5) Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
- Anak – anak :
1) Kepala dan leher : 18%
2) Lengan masing-masing 9% : 18%
3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
4) Tungkai maisng-masing 13,5% : 27%
5) Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
Rule o f Nine Wallace
c. Berat Ringannya Luka Bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1. Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2. Kedalaman luka bakar.
3. Anatomi lokasi luka bakar.
4. Umur klien.
5. Riwayat pengobatan yang lalu.
6. Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American Burn Association membagi dalam :
1. Yang termasuk luka bakar ringan (minor) :
Tingkat II :
Tingkat III : | kurang dari 15% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% Total Body Surface Area pada anak-anak. kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi. |
2. Yang termasuk luka bakar sedang (moderate) :
Tingkat II :
Tingkat III : | 15% - 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau kurang dari 10% - 20% Total Body Surface Area pada anak-anak. Kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak disertai komplikasi. |
3. Yang termasuk luka bakar kritis (mayor):
- Tingkat II :
- Tingkat III : | 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang dewasa atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak. 10% atau lebih |
- Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan perineum.. - Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan. - Luka bakar sengatan listrik (elektrik). - Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya tahan tubuh seperti luka jaringan linak, fractur, trauma lain atau masalah kesehatan sebelumnya.
|
American college of surgeon membagi dalam:
a. Parah – critical:
1) Tingkat II : 30% atau lebih.
2) Tingkat III : 10% atau lebih.
3) Tingkat III : pada tangan, kaki dan wajah.
4) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
b. Sedang – moderate:
1) Tingkat II : 15 – 30%
2) Tingkat III : 1 – 10%
c. Ringan – minor:
1) Tingkat II : kurang 15%
2) Tingkat III : kurang 1%
2.1.9. Penatalaksanaan
a. Fase Darurat
Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada penderita trauma – trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik.
- prioritas pertama dalam mengatasi luka bakar adalah menghentikan proses luka bakar ini meliputi intervensi pertolongan pertama pada situasi:
1) untuk luka bakar termal (api ), berhenti, berguling, dan berbaring tutup individu dengan selimut dan gulingkan pada api yang lebih kecil. Berikan kompres dingin untuk menurunkan suhu dari luka (es dingin menyebabkan cedera lanjut pada jaringan yang terkena )
2) untuk luka baka kimia (cairan), bilas dengan air sebanyak mungkin dari kulit. Untuk luka bakar kimia (bedak), sikat bedak kimia dari kulit kemudian bilas dengan air
3) untuk luka bakar listrik, matikan sumber listrik pertama-tama sebelum berusaha untuk memisahkan korban dengan bahaya
- Prioritas kedua adalah menciptakan jalan nafas yang efektif, untuk klien dengan kecurigaan cedera inhalasi berikan oksigen dilembabkan 100% melalui masker 10 l/mnt. Gunakan intubasi endotrakeal dan tempatkan pada ventilasi mekanik bila gas darah arteri menunjukkan hiperkapnia berat meskipun dengan O2 suplemen.
- Prioritas ketiga adalah resusitasi cairan agresif untuk memperbaiki kehilangan volume plasma secara esensial setengah dari perkiraan volume cairan diberikanpada delapan jam pertama pasca luka bakar dan setengahnya lagi diberikan selama 16 jam kemudian. Tipe-tipe cairan yang digunakan melipuit kristaloid seperti larutan ringer laktat dan atau seperti koloid seperti albumin atau plasma. Terapi cairan diindikasikan pada luka bakar derajat dua atau tiga dengan luas > 25 % atau lien tidak dapat minum. Terapi cairan dihentikan bila masukan oral dapat menggantikan parenteral. Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada penderita luka bakar yaitu :
1. Baxter Formula
Dewasa :
Anak : | Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3 2 cc x berat badan x % luas luka ditambah kebutuhan faali. |
Kebutuhan Faali :
< 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc
3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
2. Evans
Menurut Evans, cairan yang dibutuhkan :
1) RL / NaCl : luas combustio ……% X BB/ Kg X 1 cc
2) Plasma : luas combustio ……% X BB / Kg X 1 cc
3) Pengganti yang hilang karena penguapan D5 2000 cc
b. Fase Akut
1) Pemberian anti biotik profilaksis untuk mencegah infeksi.
2) Perawatan luka umum, mencakup pembersihan luka dan debredemen, pengolesan preparat antibiotik topikal serta pembalutan luka.
3) Pemberian analgesik sebagai penatalaksanaan nyeri.
4) Dukungan nitrisi karena pasien mengalami hipermetabolisme.
c. Fase Rehabilitasi
Pada fase ini penatalaksanaan difokuskan pada pemulihan sistem tubuh pasien secara komperhensif meliputi perubahan citra diri, latihan rentang gerak, dan pemulihan luka secara berkala.
2.2 Tinjauan Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Fase Darurat
Penkajian keperawatan pada fase ini berfokus pada prioritas utama bagi setiap pasien dengan luka sebagai permasalahan sekunder. Penangannan aseptik luka bakar dan pemberian infus yang invasif harus diteruskan.
Tanda – tanda vital harus diperiksa sesering mungkin. Satus respirasi dipantau dengan ketat. Denyut nadi apikal, karotis dan femoral dipantau. Pemantauan jantung merupakan indikasi jika pasien mempunyai riwayat penyakit jantung, sidera listrik atau masalah respirasi, atau bilamana irama denyut nadinya terganggu, atau frekuensi nadinya abnormal, lambat atau cepat.
Pengkajian perawat mencakup asupan nutrisi dan haluaran cairan. Haluaran urine merupakan idikator yang sangat baik untuk menunjukkan satatus sirkulasi dan harus dipantau dan diukur setiap jam. Jumlah urine yang diperoleh pertama kali ketika kateter urine dipasang harus dicatat, karena data ini membantu menentukan fungsi renal dan status cairan sebelum pasien mengalami luka bakar. Berat jenis urine, pH, kadar glukosa, aseton, protein dan kadar hemoglobin harus sering dinilai.
Suhu tubuh, berat badan, riwayat berat pasca luka bakar, alergi, imunisasi tetanus, masalah medik, serta riwayat pembedahan, penyakit sekarang dan penggunaan obat juga harus dikaji. Pengkajian head to toe dilakukan dengan berfokus pada tanda- tanda dan gejala dari penyakit atau cidera yang menyertai ayau komplikasi yang timbul.
Pengkajian terhadap luas luka bakar harus berkesinambungan. Selain itu perawat juga harus bekerjasama dengan dokter untuk mengkaji dalamnya luka bakar serta mengidentifikasi daerah – daerah luka bakar derajat dua dan tiga.
Penkajian neurologis berfokus pada tingkat kesadaran pasien, status fisiologis, tingkat nyeri serta kecemasan dan perilaku pasien. Pemahaman pasien dan keluarga terhadap cidera serta penanganannnya juga perlu dinilai.
b. Fase Akut
Pengkajian berfokus pada berbagai perubahan hemodinamika, proses kesembuhan luka, rasa nyeri dan respon psikososial serta deteksi dini komplikasi. Pengkajian terhadap status respirasi dan cairan tetap merupakan prioritas paling utama ubtuk mendeteksi komplikasi potensial.
Tanda – tanda vital harus diukur dengan sering. Hasil observasi EKG dapat memberikan petunjuk adanya aritmia jantung akibat gangguan keseimbangan kalium, penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya atau efek dari cidera listrik atau syok luka bakar.
Pengkajian terhadap volume isi lambung yang tersisa dan nilai pH pada pasien yang dipasang selang nasogtrik juga merupakan pemeriksaan yang penting dan memberikan petunjuk adanya sepsis yang dini atau kebutuhan akan terapi antasida. Darah dalam cairan aspirasi lambung atau feses juga harus dicatat dan dilaporkan.
Luka bakar itu snediri juga harus dikaji mencakup ukuran, warna, bau, eskar, eksudat, pembentukan abses dibawah eskar, calon pertumbuhan epitel, perdarahan, penampakan jaringan granulasi, kemajuan proses pencakokan kulit serta lokasi donorn ( jika ada ), dan kulitas kulit disekitarnya. Setiap perubahan yang signifikan harus segaera dilaporkan akrena perubahan tersebut bisa saja menunujukkan adanaya sepsis luka bakar atau sepsis sistemik.
Pengkajian lain yang signifikan dan haru s dilakukan ditujukan pada rasa nyeri dana respon psikososial, berat bada setiap hari, asupan kalori, status hidrasi secara umum dan kadar elektrolit, hemoglobin serta hematokrit dalamserum. Pengkajian terhadap perdarahan yang berlebihan di dekat area yang menjalani eksplorasi dan debredemen juga diperlukan.
c. Fase Rehabilitasi
Informasi mengenai tingkat pendidikan pasien, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan interaksi keluarga harus didapat. Konsep diri, status mental, respon emosional terhadap luka bakar serta perawatan dirumah sakit, tingkat pengetahuan, perawatan di rumah sakit sebelumnya, respon terhadap rasa nyeri serta tindakan untuk meredakan nyeri dan pola tidur juga merupakan komponen yang penting dalam pengkajian yang komperhensif.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan berhubungan dengan tujuan rehabilitasi meliputi latiah gerak pada persendian yang terkena luka bakar, kemampuan fungsional dalam melakukan aktivitas sehari – hari, tanda – tanda dini adanya ruptur kulit akibat bidai, adanya neuropati, dan oleransi terhadap aktivitas. Keterlibatan pasien dalam perawatan dan kemampuan perawatan diri juga harus dicatat.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Fase Darurat
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon moksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran napas.
2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan edema dan efek inhalasi asap.
3. Kurang volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kehingan lewat evaporsi dan luka bakar.
4. Hipotermi berhubungan dengan gangguan mikrosirkulasi kulit dan lukam yang terbuka.
5. Nyeri berhubungan dengan cidera jaringan saraf serta dampak emosional cidera.
b. Fase Akut
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemulihan kembali integritas kapiler dan perpindahan cairan dari kompartemen intersitial ke kompartemen intravaskuler.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barier kulit dan gangguan respon imun.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan keadaan hipermetabolisme dan penyembuhan luka.
4. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan luka bakar terbuka.
5. Nyeri berhubungan dengan serabut saraf yang terbuka, kesembuhan luka, dan penanganan luka.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan edema serta nyeri pada luka bakar dan kontraktur persendian.
7. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan perasaan takut dan cemas, berduka dan dependensi pada pemberi perawatan.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dnegan penanganan luka bakar.
c. Fase Rehabilitasi
1. Intoleran ativitas berhubungan dengan rasa nyeri ketika melakukan latihan, mobilitas sendi yang terbatas.
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik dan konsep diri.
3. Kurang pengetahuan tentang perawatan dirumah setelah pasien pulang dari rumah sakit dan kebutuhan tindak lanjut.
2.2.3 Intervensi dan Rasional
A. Fase Darurat
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon moksida, inhalasi asap dan obstruksi saluran napas.
Intervensi :
1. Berikan oksigen yang sudah dilembabkan.
R/ oksigen yang dilembabkan akan memeberika kelembaban pada jaringan yang cidera. Suplementasi oksigen meningkatkan oksigenasi alveoli.
2. Kaji bunyi nafas, frekuensi pernapasan, irama, dalam dan simetrisnya pernapasan. Pantau pasien untuk mendeteksi tanda – tanda hipoksia.
R/ hasil pengkajian ini memberikan data dasar untuk pengkajian selanjutnya dan bukti peningkatan dan penurunan pernapasan.
3. Amati hal – hal berikut :
a) Eritema atau pembentukan luka bula pada mukosa bibir dan pipi.
b) Lubang hidung yang gosong.
c) Luka bakar pada muka, leher dan dada.
d) Bertambahnya keparauan suara.
e) Adanya hangus dalam sputum atau jaringan trakhea dalam sekret respirasi.
R/
4. Pantau gas darah ateri, hasil pemeriksaan denyut nadi, dan kadar oksihemoglobin.
R/ Peningkatan pCO2 dan penurunan pO2 dan saturasi O2 dapat menunjuukan perlunya ventilasi mekanis.
5. Laporkan pernapasan yang berat, penurunan dalamnya pernapasan, atau tanda – tanda hipoksia dengan segera kepada dokter.
R/ intervensi yang segera diperlukan untuk mengatasi kesulitan pernapasan.
6. Pantau dengan ketat pasien yang menggunakan alat ventilator mekanik.
R/ intubasi memungkinkan ventilasi mekanis. Eskarotomi memudahkan eksursi dada pada luka bakar yang meningkat.
b. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan edema dan efek inhalasi asap.
Intevensi :
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas melalui pemberian posisi pasien yang tepat, pembuangan sekresi dan jalan napas artifisial bila diperlukan.
R/ jalan nafas yang paten sangat krusial untuk fungsi rspirasi.
2. Berikan oksigen yang sudah dilembabkan.
R/ kelembaban akan mengencerkan sekret dan melancarkan ekspektorisasi
3. Dorong pasien agar mau membalikkan tubuh, batuk dan napas dalam.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pembuangan sekresi.
c. Kurang volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kehingan lewat evaporsi dan luka bakar.
Intervensi :
1. Amati tanda – tanda vital, haluaran urine, dan waspada terhadap tanda – tanda hipovolemi atau kelebihan beban cairan.
R/ hipovolemi merupakan resiko utama segera setelah luka bakar. Resusitasi cairan yang berlebihan menyebabkan kelebihan beban cairan.
2. Pantau haluaran urine sedikitnya setiap jam sekali dan menimbang berat badan pasien setiap hari.
R/ haluaran urine dan berat badan memberikan informasi tentang perfusi renal, kecukupan penggantian cairan, dan kebutuhan dan status cairan.
3. Pertahankan pemberian infus dan mengatur tetesannya pada kecepatan yang tepat sesuai dengan program medik.
R/ pemberian cairan yang adekuat diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta perfusi jaringan organ vital adekuat.
4. Amati gejala defisiensi atau kelebihan kadar kalium, kalsium, natrium, fosfor dan bikarbonat.
R/ perubahan yang cepat pada status cairan dan elektrolit mungkin terjadi dalam periode pasca luka baklar.
5. Naikkan bagian kepala tempat tidur pasien dan tinggikan ekstremitas yang terbakar.
R/ peninggian akan meningkatkan aliran balik darah vena.
6. Beritahu dokter dengan segera jika terjadi penuruna haluaran urine, tekanan darah, CVP, tekanan arteri pulmonalis atau peningkatan frekuensi denyut nadi.
R/ karena terjadi perpindahan cairan , maka defisit cairan ahrus dideteksi secara dini agar syok tidak terjadi.
d. Hipotermi berhubungan dengan gangguan mikrosirkulasi kulit dan lukam yang terbuka.
Intervensi :
1. Berikan lingkungan yang hangat dengan penggunaan perisai pemanas, selimut berongga, lampu atau selimut pemanas.
R/ lingkungan yang stabil mengurangi kehilangan panas lewat evaporasi.
2. Segera hangatkan jika luka terpajan udara dingin.
R/ pajanan dingin yang minimal mengurangi kehilangan panas dari luka.
3. Kaji suhu tubuh dengan sering.
R/ mengkaji suhu tubuh secara berkala membantu mendeteksi adanya hipotermia.
e. Nyeri berhubungan dengan cidera jaringan saraf serta dampak emosional cidera.
Intervensi :
1. Gunakan skala nyeri untuk menilai tingkatan rasa nyeri ( mulai 1 – 10 ).
R/ tingkat nyeri memberikan data dasar untuk mengevaluasi efektifitas tindakan pengurang nyeri.
2. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik. Amati kemungkinan supresi pernapasan pada pasien yang tidak menggunakan ventilasi mekanik. Lakukan penilaian respon pasien terhadap pemberian analgesik.
R/ pemberian analgesik intravbena diperlukan karena terjadi perubahan perfusi jaringan akibat luka bakar.
3. Berikan dukungan emosional agar kecemasan dapat dihindari.
R/ dukungan emosional sangat penting untuk mengurangi kecemasan akibat luka bakar, dengan demikian nyeri dapat berkuranmg karena kecamasan akan meningkatkan persepsi nyeri.
B. Fase Akut
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemulihan kembali integritas kapiler dan perpindahan cairan dari kompartemen intersitial ke kompartemen intravaskuler.
Intervensi :
1. Pantau tanda – tanda vital, asupan dan haluaran cairan, berat badan. Kaji edema, distensi vena jugularis dan krekels.
R/ tanda dan gejala ini mencerminkan status cairan.
2. Beritahu dokter jika haluaran urine < 30 ml/ jam, terjadi penambahan berat badan, distensi vena jugularis, ronkhi, peningkatan CVP, dan tekanan arteri pulmonalis.
R/ semua tanda ini menunjukan vpeningkatan volume cairan.
3. Pertahankan cairan infus.
R/ pengaturan infus akan mencegah bolus cairan yang tidak disengaja.
4. Berikan deuretik atau dopamin sesuai petunjuk dokter, nilai respon pasien.
R/ dopamin untuk meningkatkan perfusi renal yang meningkatkan haluaran urine. Diuretik meningkatkan pemebentukan urine serta haluaran urine dan penurunan volume intravaskuler.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barier kulit dan gangguan respon imun.
Intervensi :
1. Gunakan tindakan asepsis dalam setiap perawatan pasien.
R/ teknik aseptik akan menurunkan resiko infeksi silang dan penyebarluasan infeksi bakteri.
2. Lakukan skrining bagi para pengunjung untuk mendeteksi masalah respirasi, gastrointestinal atau integumen. Mengharuskan pengunjung yang tidak menderita infeksi aktif untuk menggunakan gaun steril dan memintannya untuk mencuci tangan.
R/ menghindari agen penyebab infeksi yang dikenali akan mencegah masuknya mikroorganisme tambahan
3. Singkirkan tanaman dan bunga dalam air di dalam kamar pasien.
R/ air yang menggenang merupakan sumber potensial bagi sumber bakteri.
4. Inspeksi luka untuk mendeteksi tanda – tanda infeksi, drainase yang purulen dan perubahan warna.
R/ peningkatan jumlah leukosit menunjukkan infeksi lokal.
5. Pantau jumlah leukosit, hasil kutur, dan hasil tes sensitivitas.
R/ peningkatan jumlah leukosit menunjukkan adanya infeksi. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas menunjukkan mikroorganisme yang ada dan antibiotik yang tepat harus diberikan.
6. Berikan antibiotik sesuai dengan petunjuk dokter.
R/ antibiotik mengurangi jumlah bakteri dalam tubuh.
7. Lakukan penggantian linen dan bantau pasien dalam memelihara personal hygiene.
R/ tindakan ini mengurangi potensi kolonisasi bakteri pada luka.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan keadaan hipermetabolisme dan penyembuhan luka.
Intervensi :
1. Berikan diet tinggi kalori dan tinggi protein.
R/ pasien memerlukan nutrien yang cukup untuk penyembuahn luka dan peningkatan kebutuhan metabolisme.
2. Pantau berat badan pasien dan jumlah asupan kalorinya setiap hari.
R/ tindakan ini membantu menentukan apakah kebutuhan makanan telah terpenuhi.
3. Berikan suplemen vitamin dan mineral sesuai dengan petunjuk dokter.
R/ suplemen ini memenuhi kebutuhan nutrisi, vitamin dan mineral yang adekuat perlu untuk penyembuhan luka dan fungsi seluler.
4. Berikan nutrisi enteral dan parenteral jika kebutuhan diet tidak terpenuhi melalui asupan peroral.
R/ teknik intervensi nutrisi menjamin terpenuhinya kebutuhan nutrisi.
5. Laporkan jika ada distensi abdomen, volume residu lambung yang besar dan diare kepada dokter.
R/ tanda – tanda ini menunjukkan intoleransi trhadap jalur atau atau tipe pemberian nutrisi.
d. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan luka bakar terbuka.
Intervensi :
1. Bersihkan luka, tubuh, dan rambut setiap hari.
R/ pembersihan luka setiap hari akan mengurangi kolonisasi bakteri.
2. Laksanakan perawatan luka sesuai dengan perintah dokter.
R/ perawatan akan mempercepat kesembuhan luka.
3. Oleskan preparat antibiotik topikal dan memasang balutan luka sesuai petunjuk dokter.
R/ perawatan luka akan mengurangi kolonisasi bakteri dan mempercepat penyembuhan.
4. Cegah penekanan, infeksi, dan mobilisasi autograf.
R/ tindakan ini mencegah perlekatan graft dan kesembuhan.
5. Berikan dukungan nutrisi yang memadai.
R/ nutrisi yang memadai sangat penting untuk pembentukan granulasi yang normal dan kesembuhan.
6. Kaji luka dan lokasi graft. Laporkan tanda – tanda luka yang memburuk, perlekatan luka yang jelek atau trauma kepada dokter.
R/ intervensi dini untuk mengatasi kesembuhan luka atau perlekatan graft yang memburuk. Luka bakar yang menjalani pencakokan kulit atau yang baru sembuh sangat rentan terhadap trauma.
e. Nyeri berhubungan dengan serabut saraf yang terbuka, kesembuhan luka, dan penanganan luka.
Intervensi :
1. Kaji tingkatan nyeri dan skala nyeri. Amati indikator nonverbal yang menunjukkan asa nyeri ( menyeringai, takikardi).
R/ data – data hasil pengkajian nyei akan memberikan informasi dasar untuk mengkaji respon terhadap intervensi.
2. Jelaskan kepada pasien mengenai perjalanan nyeri yang normal terjadi pada proses kesembuhan luka dan berbagai pilihan untuk mengendalikan nyeri. Bahkan pasien memungkinkan untuk menangani nyerinya sendiri.
R/ pengetahuan akan mengurangi rasa takut terhadap hal – hal yng tidak diketahui dan menyampaikan berbagai cara pengendalian nyeri kepada pasien.
3. Berikan analgesik kurang lebih 20 menit sebelum menatalaksanaan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.
R/ premedikasi memberikan waktu untuk timbulnya respon terapeutik.
4. Berikan analgesik sebelum nyeri bertambaha parah
R/ rasa nyeri mudah dikendalikan jika diatasi sebelum nyeri bertambah parah.
5. Berikan instruksi dan bantu pasienn dalam melaksanakan teknik relaksasi dan distraksi.
R/ tindakan nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri akan memeberikan berbagai cara intervensi untuk dapat mengurangi sensasi nyeri.
6. Kaji dan catat respon pasien terhadap intervensi.
R/ respon pasien membantu kita untuk memastikan teknik penegndalian nyeri yang terbaik bagi pasien.
7. Berikan obat anti cemas dan anti pruritus bila perlu.
R/ terapi ini akan membantu meningkatkan kenyamanan pasien.
8. Olesi luka bakar dengan air atau lotion berbahan dasar silika.
R/ terapi ini akan memberikan rasa lentur pada kulit.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan edema serta nyeri pada luka bakar dan kontraktur persendian.
Intervensi :
1. Atur posisi pasien dengan seksama untuk mencegah posisi yang terfiksasi pada daerah tubuh yang terbakar.
R/ pengaturan posisi yang benar akan mengurangi resiko terjadinya kontraktur fleksi.
2. Lakukan latihan rentang gerak beberapa kali sehari.
R/ latihan rentang gerak akan meminimalkan atrofi otot.
3. Gunakan bidai atau alat – alat latihan yang dianjurkan oleh spesialis terapi okupasi dan fisioterapi.
R/ alat – alat tersebut akan mendorong aktivitas pasien sementara posisi sendi yang benar tetap dipertahankan.
4. Dorong perawatan mandiri sampai taraf yang sesuai dengan kemampuan pasien.
R/ perawatan mandiri akan mempercepat kemandirian maupun meningkatakan aktivitas.
g. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan perasaan takut dan cemas, berduka dan dependensi pada pemberi perawatan.
Intervensi :
1. Kaji kondisi pasien untuk mengetahui kemampuan koping dan strategi koping yang dilaksanakan dengan berhasil dimasa lalu.
R/ data – data psikososial akan memberiakn informasi dasra untuk merencanakan perawatan.
2. Tunjukkan penerimaan pada pasien. Berikan dukungan dan umpan balik yang positif.
R/ penerimaan akan mendorong timbulnya harga diri dan proses yang berkelanjutan kearah independensi.
3. Bantu pasien untuk menetapkan tujuan jangka pendek yang dapat dicapainya untuk meningkatkan independensi pada aktivitas hidup sehari – hari.
R/ penetapan tujuan jangka pendek akan membawa pasien dalam keberhasilan bagi pasien. Tujuan jangak panjang mungkin tidak realistik atau tidak dpat dicapai bagi pasien.
4. Gunakan pendekatan multi disiplin untuk mempercepat mobilitas dan independensi.
R/ komunikasi antara berbagai disiplin ilmu akan mengahsilkan cara pendekatan yang konsisten.
5. Konsultasi dengan anggota tim perawatan pasien untuk membantunya dalam mengatasi perilaku yang regresif atau maladaptif.
R/ kolaborasi memanfaatkan keahlian dari profesi atau spesialis lainnya.
h. Kurang pengetahuan berhubungan dnegan penanganan luka bakar.
Intervensi :.
1. Kaji kesiapan pasien dan keluarganya untuk belajar.
R/ terbatasnya pendidikan mengurangi kemapuan pasien dan keluarganya untuk menerima informasi.
2. Kaji pengalaman pasien dan keluarganya yang berhubngan dengan perawatan di rumah sakit dan penyakit.
R/ informasi ini memberikan data – data dasar untuk penjelasan dan indikasi yang menunjukkan harapan pasien dan keluarganya.
3. Tinjau proses penanganan luka bakar bersama pasien dan keluarganya.
R/ mengetahui apa yang akan terjadi mempersiapkan pasien dan keluarganya dalam menghadapi kejadian mendatang.
4. Jelaskan pentingnya partisipasi pasien dalam perawatan untuk memperoleh hasil yang optimal.
R/ informasi ini memberikan arah yang spesifik kepada pasien.
5. Jelaskan lama waktu yang diperluakn untuk sembuh dari luka bakar.
R/ kejujuran meningkatkan harapan realistis.
C. Fase Rehabilitasi
a. Intoleran ativitas berhubungan dengan rasa nyeri ketika melakukan latihan, mobilitas sendi yang terbatas.
Intervensi :
1. Pertahankan posisi tubuh yang tepat dengan bidai khususnya untuk luka bakar diatas sendi.
R/ meningkatkan posisi fungsional pada ektremitas dan mencegah kontraktur, yang lebih mungkin diatas sendi.
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan dan sensasi jari dengan sering.
R/ edema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas dan mempotensialkan nekrosis jaringan / terjadinya kontraktur.
3. Lakukan rehabilitasi.
R/ akan lebih mudah untuk membuat partisipasi pasien bila pasein menyadari kemungkinan adanya peneymbuhan.
4. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif, kemudian aktif.
R/ mencegah secara progresif pengencangan jaringan parut dan kontraktur, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot / sendi.
5. Berikan obat sebelum aktivitas / latihan.
R/ menurunkan kekakuan otot / jaringan dan teganggan, memampukan pasien untuk lebih aktif.
6. Dorong partisipasi pasien dalam semua aktivitas sesuai kemampuan individual.
R/ meningkatkan kemandirian, meningkatkan harga diri, dan membantu proses perbaikan.
b. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik dan konsep diri.
Intervensi :
1. Kaji makna kehilangan / perubahan pada pasien / orang terdekat.
R/ episode traumatik menyebabkan perubahan yang tiba – tiba, tidak diantisipasi, membuat perasaan kehilangan pada kehilangan aktual atau yang dirasakan.hal ini memerluakn dukungan yang optimal.
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan, marah, kedukaan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri dan penyangkalan.
R/ penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa ynag terjadi membantu proses penyembuhan.
3. Bersikap realistis dan positif selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan.
R/ meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dan perawat.
4. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan keyakinan yang salah.
R/ meningkatkann perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.
5. Dorong interaksi keluarga dengan tim rehabilitasi.
R/ mempertahankan / membuak garis komunikasi dan memberikan dukungan terus menerus pada pasien dan keluarga.
c. Kurang pengetahuan tentang perawatan dirumah setelah pasien pulang dari rumah sakit dan kebutuhan tindak lanjut.
Intevensi :
1. Kaji ulang prognosis dan harapan akan datang.
R/ memberikan dasar pengetahuan dimana pasein dapoat memuat pilihan berdasarkan informasi.
2. Kaji ulang perawtan luak bakar, graft kulit dan luka. Identifikasi sumber yang tepat untuk perawatan pasien rawat jalan dan bahannya.
R/ meningkatkan kemampuan perawatan diri setelah pulang dan meningkatkan kemandirian.
3. Diskusikan perawatan kulit seperti contoh penggunaan pelembab dan pelindung matahari.
R/ gatal, lepuh dan sensitivitas luka dapat sembuh dalam waktu lama.
4. Jelaskan proses jaringan parut dan perlunya penggunaan pakaian penekan yang tepat bila digunakan.
R/ meningkatkan pertumbuahn kulit kembali yang optimal, meminimalkan terjadinya jarinagn parut yang hipertrofik dan kontraktur dan membantu proses penyembuhan.
5. Dorong kesinambungan program latihan dan jadwalkan periode istirahat.
R/ mempertahankan mobilitas, menurunkan komplikasi dan mencegah kelelahan, membantu proses penyembuhan.
6. Tekankan pentingnya melanjutkan pemasukan diet tinggi kalori tinggi protein.
R/ nutrisi optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan.
7. Tekankan pentingnya mengevaluasi perawatan / rehabilitasi.
8. R/ dukunagn jangka panjang dengan evaluasi ulang secara kontinyu dan perubahan terapi dibuthkan iuntuk mencapai penyembuahan yang optimal.
2.2.4 Evaluasi
1. Homeostasis tercapai.
2. Nyeri terkontrol/menurun.
3. Komplikasi dicegah/diminimalkan.
4. Menerima situasi secara realitas.
5. Kondisi atau prognosis dan program terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Bunyaniah, Dahru. Auhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Luka Bakar. Surakarta : 2008.
http://etd.eprints.ums.ac.id/2896/1/J200050058.pdf
Carpenito, Lynda Juall. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999.
Dongoes, E. Marilynn. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC. 1999.
Hidayat, Agung. Asuhan Keperawatan Luka Bakar. Bengkulu : 2009. Diakses melalui http://hidayat2.wordpress.com/2009/07/05/askep-luka-bakar/
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC. 2001.
0 Response to "ASKEP LUKA BAKAR / COMBUSTIO"
Posting Komentar